Namaku Ayu


By: Tri Sutrisno (Ts) 
Bab 1. Wanita Idaman

=================================
Mentari masih enggan menampakkan wajahnya. Embun dan genangan air sisa hujan malam tadi seakan berhasil memaksa manusia untuk berlama-lama di atas ranjangnya. Kemacetan yang menjadi pemandangan sehari-hari di jalanan Kota Kembang juga seakan lenyap. Dengan mengendarai sepeda motor aku menyusuri jalanan itu pagi ini, melawan dinginya cuaca demi mengisi perut yang sudah tidak dapat lagi diajak kompromi. 

Sepeda motorku terhenti di depan sebuah bangunan ruko dua lantai. Masih tampak sepi, bahkan hanya beberapa meja yang terisi. Aku melangkah memasuki tempat itu menghampiri bapak tua yang selalu setia menanti kedatangan tamu setiap hari. Ada sedikit senyum terpancar dari bibirnya menyambut kedatanganku. 

"pagi mang..... " sapaku pada Mang Ujang. 

"pagi juga mas. Tumben sendiri, mana yang lain? " tanya Mang Ujang padaku. Aku pun hanya tersenyum. Memang biasanya jika aku datang tidak pernah sendiri, teman-teman kos selalu ikut kemana aku berjalan, apalagi cari sarapan. 

"masih pada ngorok mang, maklum habis hujan gini paling enakan berteman selimut" jawabku sekenanya yang diiringi tawa kami bersamaan. 

"mau pesan apa mas..? "

"seperti biasa mang... "

"Oke. Ditunggu!"

Mang Ujang pun bergegas menghampiri istrinya yang terlihat masih sibuk menyiapkan pesanan pembeli sebelumnya. Aku yang sudah terbiasa sarapan disini, membuat Mang Ujang sudah sangat hafal menu favoritku. Lontong sayur dengan dua telur rebus. Kuah lontong sayur yang pas dengan seleraku menjadi candu tersendiri. 

Aku memilih duduk di dalam dengan meja yang paling belakang. Hal ini sering aku lakukan supaya mudah melihat para pembeli yang datang, mana tahu ketemu jodoh. Pandanganku terhenti pada sosok yang duduk di meja teras sambil menyantap sarapannya. Wanita yang memiliki paras yang cantik, hidung mancung dan bibir yang tipis menambah ayu dengan rambut panjang terurai. Ku pandangi lekat wajahnya, sambil membayangkan betapa beruntungnya jika dia menjadi pendampingku.

"Namanya Ayu.. "

Sial! umpatku dalam hati. 

Kedatangan Mang Ujang sukses membuyarkan lamunanku. Mang Ujang yang menangkap basah aku sedang memandangi gadis itu, membuatku malu dan mengalihkan pandanganku. 

"Hehehee... " hanya ketawa kecil yang kutunjukkan pada Mang Ujang untuk mengurangi rasa gugup dan maluku. 

Aku pun menyantap sarapan dengan lahapnya. Sarapan yang ada di hadapanku ludes tak bersisa. Sesekali ku lirik gadis yang ada di depanku. 

Ayu...  Namanya seayu parasnya. Tidak salah orang tuanya memberikan nama itu. Batinku. 

****
"pergi sana! Ngapa sih gangguin orang lagi makan aja. Hilang selera makanku!" ucap salah seorang pengunjung yang sedang makan dan merasa terganggu dengan kedatangan seorang pengemis. Seorang anak dengan penampilan yang lusuh sambil sebelah tangan memegang perutnya. 

"maaf om, tapi Ida lapar." jawab anak itu yang masih berdiri di samping pemuda tersebut. Karena merasa terganggu ataupun merasa jijik, bukan makanan atau uang yang ia dapat, justru pemuda tersebut mendorong anak itu agar berusaha menjauh. 

Tubuh kecil yang tidak siap menerima dorongan itu terpental ke belakang. Namun, bukan karena dorongan itu yang membuatku terkejut, Ayu si gadis cantik dengan sigapnya menahan pundak anak tersebut agak tidak terjatuh ke belakang. 

"Tolong ya bang, kalau memang abang gak mau ngasih adek ini, setidaknya abang jangan menyakiti" ucap Ayu sambil menatap sinis pada pemuda itu. Bukannya meminta maaf, justru  pemuda itu membalas ucapan Ayu tidak kalah sinisnya. 

"Kamu Kakaknya? Kalau kamu ngerasa perduli, ya udah kamu bawa aja dia. Tidak perlu menceramahi aku segalak!"

Ayu yang merasa heran dengan sikap pemuda itu, hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala. Seakan tidak yakin jika masih ada manusia seperti itu di zaman sekarang. Manusia yang tidak mau perduli dengan penderitaan orang lain. 

Ayu pun membawa anak kecil itu ke mejanya. Nampak dari kejauhan Ayu menunjukkan rasa empatinya. Di tarik kursi tepat di hadapannya dan mempersilahkan anak tersebut duduk tepat dihadapannya. Ayu pun memanggil Mang Ujang untuk memesankan sarapan untuk Ida, anak kecil yang kurang beruntung. 

Aku pun tak henti memandangi Keabraban mereka dari kejauhan. Jiwa jombloku yang meronta-ronta, ingin rasanya loncat dan mengenal lebih dekat gadis itu. 

"Udah, samperin aja. Gak usah malu-malu. Ntar nyesal lo.... " ejek Mang Ujang sambil berlalu mengantarkan pesanan yang ternyata untuk Ida. 

Dalam diam aku memikirkan ucapan Mang Ujang. Sambil sesekali menghisap gulungan tembakau yang ada di jariku. Rasanya kurang sehat jika setelah makan tidak menghisap rokok. Lama aku berfikir dan berusaha mengumpulkan energi keberanianku. Aku bertekad untuk mengenalnya, syukur-syukur jika mendapat nomor telponnya. Namun kembali keraguan menghampiriku, yang semula bertekad berangsur menciut nyaliku. 

"Mang, ini uangnya ya. Ayu pulang dulu. Makasih.... " ucap Ayu pada Mang Ujang yang terdengar jelas di telingaku. Ayu yang berjalan menjauh sambil menggandeng anak kecil itu, seakan menambah pesona sebagai wanita idaman. Aku hanya dapat memandangi hingga punggung Atu tidak terlihat lagi. 

Sial..! Umpatku dalam hati. 

Mang Ujang yang menyadari akan kekesalanku, tiba-tiba duduk di hadapanku. 

"Kan udah Mang Ujang bilang tadi. Mas sya aja yang gak berani," ucapnya setelah duduk. 

"Bukan gak berani Mang, cuman takut ntar ada yang salah faham."

Bukannya membalas ucapanku, malah Mang Ujang tertawa terbahak-bahak. Aku yang merasa ditertawakan hanya garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum sendiri. 

"Ayu tu anak kos yang tinggal di kontrakan Mang Ujang. Dia satu kampung dengan istriku. Mang Ujang tahu bagaimana hari-hari dia. Gak mungkin Mang suruh kamu kenalan kalau dia dah ada lakinya. Ayak-ayak wae.... " Mang Ujang pun berdiri dan meninggalkan ku dengan sejuta tanda tanya. 

"Ada harapan... " ucapku dalam hati. 

Jarang ditemui Di zaman sekarang seorang gadis dengan paras yang cantik ditambah dengan akhlaknya yang baik. Benar-benar calon istri idaman. 

"Aku harus bisa mendapatkannya. Mudah-mudahan dia jodohku." tekad ku dalam hati. 

Aku pun membayar sarapanku dan bergegas pergi meninggalkan tempat sarapan Mang Ujang dengan langkah yakin dan penuh semangat.


Tg. Bungsu, 13 Desember 2020

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan

SECANGKIR ILMU FAHAM

Menulis dan Menulislah