Sujudku di Sepertiga Malam (Penyesalan yang Terlambat)
Pernikahan
“Fio, terimakasih ya sayang.” Wanita paruh
baya itu menatapku penuh kasih sayang. Raut bahagia, senyum yang merekah menghiasi wajahnya pagi itu setelah ijab kabul.
Andai saja bukan karena kebaikannya, mungkin
cerita ini akan berbeda. Wanita mana di zaman sekarang yang sudi dijodohkan.
Ini sudah zaman modern, bukan lagi zaman Siti Nurbaya, yang dengan suka rela
menerima perjodohan. Namun apalah daya, jika bukan karena tante Wulan yang
sekarang menjadi mama mertuaku, mungkin aku tidak akan pernah mengenyam
pendidikan hingga di bangku perkuliahan. Mungkin dengan cara menerima
perjodohan ini, aku dapat membalas semua kebaikannya.
Aku mencoba ikhlas. Aku yakin, lelaki yang
dijodohkan denganku adalah lelaki terbaik yang Allah kirimkan untuk mendampingiku.
Aku selalu mengingat pesan ibuku, jika rezeki, jodoh, dan maut semua sudah
ditetapkan oleh_Nya.
Aku merebahkan tubuhku, meregangkan otot-otot
tangan yang sudah mulai kaku. Sudah saatnya istrirahat. Sedari pagi aku
mengemasi barang-barang yang ada di rumah super mewah ini. Tentu saja ini bukan
rumahku, melainkan rumah pemberian mertuaku sebagai hadiah pernikahanku dengan Mas
Pram.
Kurebahkan tubuh rampingku di kasur king
size, kasur yang mungkin tidak terbeli dengan gajiku ketika masih kerja dulu.
Lembut dan nyaman serasa berbaring di atas awan ditemani bintang yang
bertaburan.
Aku tersenyum masam, ketika pandanganku tertuju
pada bingkai pigura foto pernikahanku yang terpajang di atas meja nakas yang
berada di sudut kamarku. Sorot mata yang tajam, ucapan yang menyakitkan, dan
dinginnya sikap Mas Pram padaku melebihi dinginnya AC di kamar ini.
Hasratku membaringkan diri seakan hilang
begitu saja. Aku berjalan ke balkon yang ada di kamarku. Taman yang indah
dengan danau kecil memanjakan mataku. Tampak bunga menari-nari memancing sang
kumbang untuk menghinggapinya.
“Ceklek.....”
Ku palingkan wajahku ke arah pintu kamar yang
terbuka. Tampak sosok yang tampan memasuki kamar dengan map merah di tangannya.
“Baca ini. Setelah itu tandatangani!” Pinta
Mas Pram sambil meletakkan map merah yang dibawanya ke atas nakas dengan suara
datarnya.
Karena tidak ingin membuatnya marah, aku
bergegas menuju nakas dan membuka map seperti yang dipintanya.
“Surat perjanjian.” Batinku dengan mata
berkaca-kaca saat membaca bagian atas kertas yang ada di dalam map.
Baris demi baris tulisan itu ku baca dengan
teliti. Seakan aku tidak percaya dengan semua isi perjanjian itu. Usia
pernikahan kami yang baru menginjak satu minggu, harus ada drama perjanjian
pernikahan yang sama sekali tidak pernah aku inginkan.
“Apa maksud semua ini, Mas?” tanyaku pada Mas
Pram.
Air mata yang sedari tadi menggenang di
pelupuk mataku, seakan tidak mampu tertahan lagi. Lolos begitu saja. Ada rasa
sakit yang tak mampu kuucapkan.
“Apa kamu tidak membacanya?” tanya Mas Pram
seakan tidak ingin menjelaskan isi perjanjian itu.
“Ya Allah Mas, bukan seperti itu maksudku.
Apa maksud perjanjian ini. Bukankah Mas Pram ikhlas menikahiku? Kenapa harus
ada perjanjian seperti ini?” ucapku mencoba menjelaskan pertanyaanku.
Mas Pram berjalan menghampiri dengan tertawa
kecang, seakan apa yang aku tanyakan adalah sesuatu yang lucu. Sungguh,
pernikahan ini bukanlah sesuah lelucon Mas.
“Ikhlas..!!” ucapnya keras di hadapanku
sambil tertawa.
“Hei, Fio. Jika bukan karena mama, aku juga
tidak mungkin mau menikah denganmu. Ingat, siapa kamu itu. Bahkan keluargamu
saja tidak jelas!”
Hancur rasanya hatiku mendengar semua
ucapannya. Suami yang seharusnya aku hormati dan patuhi, begitu rendahnya
memperlakukanku. Air mata yang mengalir sedari tadi seakan sudah kering seiring
hancurnya bayangan keharmonisan keluarga yang ku dambakan selama ini.
“Cukup, Mas! Cukup.....” ucapku sambil
menutup kedua telingakuku.
Entah mengapa, aku tidak rela jika ada orang
yang menghina orangtuaku. Orang tua yang tidak salah harus terbawa dalam
masalah keluargaku. Jika ibuku bisa melihat dari langit, mungkin tangan
lembutnya sudah membelai dan mendekapku dengan hangat.
Ya, ibuku memang sudah tidak ada. Ia sudah
tenang menghadap Ilahi Robbi. Bahkan
ayahku juga tidak tahu entah kemana. Ia meninggalkan kami dan memilih pergi bersama
selingkuhannya. Ibu yang berjuang sendiri membesarkanku, harus menyimpan dan
menahan penyakit yang dideritanya. Hingga penyakit itu menggerogoti tubuhnya.
Bahkan perjodohan ini juga bermula ketika
seorang ibu yang ku selamatkan dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya.
Karena untuk membalas jasaku, ia pun membiayai seluruh biaya perkuliahanku
hingga perjodohan ini terjadi.
“Ini belum cukup Fio. Jangan harap kamu akan
hidup tenang enam bulan ini jika kamu tidak mematuhi perintahku.” Ucap Mas Pram
sambil mencengkeram kuat daguku.
“Tandatangani, atau aku tidak akan melepaskan
cengkraman ini.” Ucap Mas Pram mencoba memaksaku menandatangi surat perjanjian
itu.
Kuatnya cengkraman tangan Mas Pram seakan
tidak ku rasakan lagi. Bagaimana mungkin aku menandatangani perjanjian yang
tidak masuk akal ini.
“Plaaakkkk.......”
Tamparan keras Mas Pram berhasil mendarat di
wajahku. Telapak tangan yang besar menutupi sebagian pipiku. Aku tersentak dan
jatuh tersungkur karena kuatnya tamparan Mas Pram. Darah segar mengalir dari
sudut bibirku. Tapi itu tidak membuat Mas Pram berhenti untuk memaksaku
menandatangi perjanjianya. Jilbab putih yang ku pakaipun sudah penuh dengan
bercak darah.
“Ini akibatnya jika kamu melawan!” ucapnya
sambil jongkok di hadapanku.
Tangan kekarnya meraih tanganku dan memaksaku
menandatangani perjanjian tersebut. Lalu ia berdiri dan melangkah pergi
meninggalkanku dengan keterpurukan.
Ada senyum puas di wajahnya setelah berhasil
memaksaku menuruti kemauannya. Sungguh aku tidak menyangka, jika sebuah
pernikahan yang sakral, hanya dijadikannya alat untuk memenuhi ambisinya
sebagai pemilik tunggal perusahaan keluarganya.
Pramestya Permana, merupakan putra tunggal
dari pengusaha ternama di Kota Surabaya, yaitu Wijaya Permana. Tidak ada
satupun pengusaha di Indonesia bahkan Asia yang tidak mengenalnya. Seorang
pengusaha bertangan dingin yang dengan gigih membangun usahanya hingga besar
seperti saat ini. Bahkan bisnis properti yang dijalaninya selama ini telah
merambah pada usaha yang lain.
Mas Pram yang selama ini hanya memegang
jabatan sebagai wakil direktur, hanya akan dipercaya memegang perusahaan jika
ia sudah menikah. Pergaulan bebas yang dijalaninya selama ini, membuat hati mamanya
menjadi khawatir.
Pramestya kecil tidaklah searogan sekarang.
Didikan agama yang kuat di keluarganya ternyata tidak mampu menjadi benteng
ketika ia mengenyam pendidikan di Negara Kanguru. Bahkan bergonta ganti
pasangan seperti sudah menjadi kebiasaannya.
Aku mencoba bangkit dengan sisa tenagaku. Ada
rasa nyeri dan pedih di bibirku. Aku berusaha tegar dengan ujian di awal
pernikahan kami.
***
Malam datang menyelimuti bumi. Sang surya
telah kembali keperaduannya. Entah berapa lama aku tertidur di atas sejadahku.
Tempat ternyaman untuk bercengkrama dengan sang khalik.
Aku memperhatikan di sekeliling kamar. Tidak
ada tanda-tanda kepulangan Mas Pram. Entah dimana dia pergi dan tidur.
Aku merapikan sejadah dan mukenaku. Ku
baringkan tubuh kecilku di kasur king size. Perih yang menjalar di wajahku,
ditambah sakit kepala yang mendera, memaksaku untuk tidak keluar kamar dan
memilih melanjutkan tidur.
Dentuman keras jam klasik di sudut kamar
seakan membangunkanku dari mimpi indah. Tidur semalaman membuat sakit di pipiku
sedikit berkurang. Aku bangkit dari ranjang dan bergegas mengambil air wudhu
untuk sholat tahajud.
Aku lihat Mas Pram tidur meringkuk di atas
sofa kamar. Entah kapan dia kembali. Ku pandangi wajahnya sesaat. Lelaki yang
menjadi imamku, yang berhasil mengoyak harapan untuk membina rumah tangga
bahagia. Wajah yang teduh saat tertidur, namun akan sangat dingin dan
menyeramkan manakala ia terbangun.
Lantunan suara adzan terdengar merdu di
gandang telingaku. Suara yang mampu menentramkan setiap hati manusia. Aku pun
mengakhiri bacaan Al-Qur’an. Kegiatan yang rutin ku lakukan hingga saat ini
setiap kali siap melakukan sholat malam. Aku pun melanjutkan melaksanakan
kewajiban sebagai umat muslim. Waktu subuh bagiku adalah waktu yang terbaik
untuk mendapatkan rahmat dan ridho_Nya.
Ada keinginan di hati kecilku untuk
membangunkan Mas Pram, tapi itu ku urungkan. Aku tidak ingin menjadi sasaran
amarahnya di pagi hari. Dia yang tidak suka di tegur dengan apa yang
dilakukannya dan setiap perkataannya adalah perintah. Itu lah yang membuat
nyaliku menciut.
Komentar
Posting Komentar